Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami
Apakah dalam bisnis diperlukan etika atau moral? Jawabannya sangat diperlukan dalam rangka untuk melangsungkan bisnis secara teratur, terarah dan bermartabat. Bukanlah manusia adalah makhluk yang bermartabat?
Islam sebagai agama yang telah sempurna sudah barang tentu memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi, istilah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara (Muhammad dan Lukman Fauroni, 2002: 29) yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang dunia usaha atau perdagangan. Dalam menjalankan usaha dagangnya tetap harus berada dalam rambu-rambu tersebut. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang dapat diteladani dalam berbisnis, misalnya:
1. Kejujuran.
Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan, dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib diperlihara atau disampaikan kepada yang berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi (Barmawie Umary, 1988: 44). Orang yang jujur adalah orang yang mengatakan sebenarnya, walaupun terasa pahit untuk disampaikan.
Sifat jujur atau dapat dipercaya merupakan sifat terpuji yang disenangi Allah, walaupun disadari sulit menemukan orang yang dapat dipercaya. Kejujuran adalah barang mahal. Lawan dari kejujuran adalah penipuan. Dalam dunia bisnis pada umumnya kadang sulit untuk mendapatkan kejujuran. Laporan yang dibuat oleh akuntan saja sering dibuat rangkap dua untuk mengelak dari pajak.
يأيها الذين امنوا اتقوا الله وكونوا مع الصادقين #
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur”
(Q.S. al-Taubah: 119)
والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون #
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amant
(yang dipikulnya) dan janjinya”
(Q.S. al-Mu’minun: 8)
Rasulullah Saw pada suatu hari melewati pasar, dimana dijual seonggok makanan. Beliau masukkan tangannya keonggokan itu, dan jari-jarinya menemukannya basah. Beliau bertanya: “Apakah ini hai penjual”? Dia berkata “Itu meletakannya di atas agar orang melihatnya? Siapa yang menipu kami, maka bukan dia kelompok kami” (Quraish Shihab, Ibid.: 8).
2. Keadilan
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
(الإسراء:35)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.S. al-Isra’: 35)
Dalam ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 yang artinya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”
Dari ayat di atas jelas bahwa berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang celaka (wail). Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang nista, dan hal ini menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi orang lain.
3. Barang atau produk yang dijual haruslah barang yang halal, baik dari segi dzatnya maupun cara mendapatkannya. Berbisnis dalam Islam boleh dengan siapapun dengan tidak melihat agama dan keyakinan dari mitra bisnisnya, karena ini persoalan mu’amalah dunyawiyah, yang penting barangnya halal. Halal dan haram adalah persoalan prinsipil. Memperdagangkan atau melakukan transaksi barang yang haram, misalnya alkohol, obat-obatan terlarang, dan barang yang gharar dilarang dalam Islam (Muhammad dan R.Lukman F, op.cit.: 136-138).
Di bawah ini tabel tentang prinsip-prinsip halal dan haram dalam Islam, adalah sebagai berikut:
Prinsip Halal dan Haram
No. Prinsip Halal dan Haram
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. Prinsip dasarnya adalah diperbolehkan segala sesuatu.
Untuk membuat absah dan untuk melarang adalah hak Allah semata.
Melarang yang halal dan menbolehkan yang haram sama dengan syirik.
Larangan atas segala sesuatu didasarkan atas sifat najis dan melukai.
Apa yang halal adalah yang diperbolehkan, dan yang haram adalah yang dilarang.
Apa yang mendorong pada yang haram adalah juga haram.
Menganggap yang haram sebagai halal adalah dilarang.
Niat yang baik tidak membuat yang haram bisa diterima.
Hal-hal yang meragukan sebaiknya dihindari.
Yang haram terlarang bagi siapapun.
Keharusan menetukan adanya pengecualian.
Sumber: Lihat Muhammad dan R. Luman Faurani, Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 132. Lihat juga Choril Fuad Yusuf, “Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3/V/1997, hlm. 16.
Secara umum Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Nilai-nilai dasar etika bisnis dalam Islam adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas. Semua ini akan lebih mudah dipahami dalam bentuk tabel berikut ini:
Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami
Nilai Dasar Prinsip Umum Pemaknaan
Tauhid Kesatuan dan Integrasi
Kesamaan Integrasi antar semua bidang kehidupan, agama, ekonomi, dan sosial-politik-budaya.
Kesatuan antara kegiatan bisnis dengan moralitas dan pencarian ridha Allah.
Kesatuan pemilikan manusia dengan pemilikan Tuhan. Kekayaan (sebagai hasil bisnis) merupakan amanah Allah, oleh karena itu didalam kekayaan terkandung kewajiban sosial.
Tidak ada diskriminasi diantara pelaku bisnis atas dasar pertimbangan ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama.
Khilafah Intelektualitas
Kehendak Bebas
Tanggungjawab dan Akuntabilitas Kemampuan kreatif dan konseptual pelaku bisnis yang berfungsi membentuk, mengubah dan mengembangkan semua potensi kehidupan alam semesta menjadi sesuatu yang konkret dan bermanfaat.
Kemampuan bertindak pelaku bisnis tanpa paksaan dari luar, sesuai dengan parameter ciptaan Allah.
Kesediaan pelaku bisnis untuk bertang gungjawab atas dan mempertanggung jawabkan tindakannya.
Ibadah Penyerahan Total Kemampuan pelaku bisnis untuk mem bebaskan diri dari segala ikatan penghambaan manusia kepada ciptaan nya sendiri (seperti kekuasaan dan kekayaan).
Kemampuan pelaku bisnis untuk men jadikan penghambaan manusia kepada Tuhan sebagai wawasan batin sekaligus komitmen moral yang berfungsi mem berikan arah, tujuan dan pemaknaan terhadap aktualisasi kegiatan bisnisnya.
Tazkiyah Kejujuran
Keadilan
Keterbukaan Kejujuran pelaku bisnis untuk tidak mengambil keuntungan hanya untuk dirinya sendiri dengan cara menyuap, menimbun barang, berbuat curang dan menipu, tidak memanipulasi barang dari segi kualitas dan kuantitasnya.
Kemampuan pelaku bisnis untuk men ciptakan keseimbangan/moderasi dalam transaksi (mengurangi timbangan) dan membebaskan penindasan, misalnya riba dan memonopoli usaha.
Kesediaan pelaku bisnis untuk meneri ma pendapat orang lain yang lebih baik dan lebih benar, serta menghidupkan potensi dan inisiatif yang konstruktif, kreatif dan positif.
Ihsan Kebaikan bagi orang lain
Kebersamaan Kesediaan pelaku bisnis untuk memberi kan kebaikan kepada orang lain, misalnya penjadwalan ulang, menerima pengembalian barang yang telah dibeli, pembayaran hutang sebelum jatuh tempo.
Kebersamaan pelaku bisnis dalam membagi dan memikul beban sesuai dengan kemampuan masing-masing, kebersamaan dalam memikul tanggung jawab sesuai dengan beban tugas, dan kebersamaan dalam menikmati hasil bisnis secara proporsional.
Sumber: M.A. Fattah Santoso, “Etika Bisnis: Perspektif Islam”, dalam Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001, hlm. 213-214.
4. Tidak Ada Unsur Penipuan
Penipuan atau al-tadlis / al-ghabn sangat dibenci oleh Islam, karena hanya akan merugikan orang lain, dan sesungguhnya juga merugikan dirinya sendiri. Apabila seseorang menjual sesuatu barang, dikatakan bahwa barang tersebut kualitasnya sangat baik, kecacatan yang ada dalam barang disembunyikan, dengan maksud agar transaksi dapat berjalan lancar. Tetapi setelah terjadi transaksi, barang sudah pindah ke tangan pembeli, ternyata ada cacat dalam barang tersebut. Berbisnis yang mengandung penipuan sebagai titik awal kehancuran bisnis tersebut.
Sumber : http://eprints.ums.ac.id/281/1/Artikel-4.doc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar