ETIKA DALAM BERBAHASA
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Setiap saat, kita selalu menggunakan bahasa untuk berbicara dengan teman, orang tua, kakak, ataupun adik. Pada saat berkomunikasi itu, kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Namun, dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, setiap penutur sebaiknya berupaya untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara orang-orang yang berkomunikasi.
Untuk memahami hubungan antara etika berkomunikasi dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar, terlebih dahulu dikemukakan definisi komunikasi. Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Berdasarkan definisi yang dikemukakan tadi, kita akan mendapatkan tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, yakni si pengirim dan si penerima informasi, (2) informasi yang sampaikan, dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi itu.
Etika berkomunikasi dalam suatu interaksi komunikasi erat kaitannya dengan pemilihan bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Para ahli bahasa menyebut lima etika yang harus dikuasai oleh seorang pembicara ketika dia berkomunikasi. Apa saja etika itu?
Dalam menciptakan suasana komunikasi yang baik, terlebih dahulu penutur peru menguasai dan mengetahui etika dan tatanan berkomunikasi yang akan kita lakukan. Etika pada saat kita berbicara dengan orang lain itu antara lain:
Pertama, seorang pembicara harus mengetahui apa yang akan dikatakannya, pada waktu dan keadaan tertentu kepada lawan bicaranya berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; Kedua, jenis bahasa apa yang paling wajar kita gunakan yang disesuaikan dengan budaya di tempat kita berbicara; Ketiga, kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain; Keempat, kapan kita harus diam; dan Kelima, bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.
Butir-butir aturan dalam etika berkomunikasi tadi bukanlah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya. Kelima etika itu merupakan bagian-bagian yang menyatu di dalam tindak berbahasa. Butir (1) dan (2) menjelaskan aturan sosial berbahasa yang terdiri atas: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, kapan, di mana, dan dengan tujuan apa. Sebagai contoh, kita hendak menyapa seseorang, maka harus kita mengetahui terlebih dahulu siapa orang itu, di mana, kapan, dan dalam situasi bagaimana.
Butir (3) dan (4) yang juga merupakan aturan dalam etika berbahasa perlu pula dipahami agar kita bisa disebut sebagai anggota orang yang dapat berbahasa. Kita tidak dapat seenaknya menyela atau memotong pembicaraan seseorang; untuk menyela kita harus memperhatikan waktunya yang tepat dan tentunya juga dengan memberikan isyarat terlebih dahulu.
Butir (e) dalam etika berkomunikasi menyangkut masalah kualitas suara dan gerak-gerik anggota tubuh ketika berbicara. Kualitas suara berkenaan dengan volume dan nada suara. Setiap budaya mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Masyarakat Sultra dalam berbahasa daerah ataupun berbahasa Indonesia cenderung menggunakan volume suara yang lebih tinggi dibandingkan dengan para penutur bahasa Sunda dan bahasa Jawa.
Selain lima butir etika berkomunikasi yang dikemukakan di atas, gerak-gerik fisik dalam bertutur juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam etika berkomunikasi. Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal, yakni yang disebut kinesik dan proksimik. Kinesik ini menyangkut gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, antara tangan, bahu, kepala, dan sebagainya. Berbeda dengan kinesik, proksimik merupakan jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Jauh-dekatnya jarak tubuh ketika berkomunikasi dengan seseorang bergantung pada apa yang sedang dibicarakan. Jika yang dibicarakan adalah hal yang menyangkut rahasia, maka jarak antarpembicara biasanya dekat, sedangkan untuk pembicaraan yang bersifat umum dapat dilakukan dengan jarak empat atau lima kaki.
Pada bagian akhir tulisan ini, ditegaskan bahwa pengetahuan dan pemahaman terhadap hakikat komunikasi dan etika berbahasa dapat menghindarkan diri dari perbedaan pemahaman antara pembicara dan pendengar. Berbahasa yang baik dengan berlandaskan pada norma-norma dan etika berkomunikasi akan menciptakan suasana dan hubungan yang harmonis antara pembicara dan pendengar. Inilah sesungguhnya yang diharapkan dari suatu komunikasi karena jika bahasa (pesan) yang disampaikan tidak dipahami oleh pendengar, maka bahasa (pesan) yang disampaikan tersebut tidaklah komunikatif.
Sumber :
http://www.kendaripos.co.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=5871
Tidak ada komentar:
Posting Komentar